Kawasan lindung - tanya dan jawab

Di sungai Tanabang Masyarakat adat sering lebih baik melindungi hutan dari pada kawasan lindung negara (© Dario Novellino) Penggembala ternak di Tanzania, suku Massai © hadynyah/istockphoto.com Jaguar di Cagar biosfer Indio Maiz di Nikaragua © Indio Maiz Reserva Biologica Gunung berapi di Taman Nasional Virunga © CC BY-SA 2.0 Gorila dan Ranger di Taman Nasional Virunga Gorila dan Ranger di Taman Nasional Virunga (© RdR/Mathias Rittgerott) Sidang pleno semasa COP 15 Sidang pleno semasa COP 15 - Konferensi Keanekaragam Hayati (© Rettet den Regenwald / Mathias Rittgerott) Perempuan sedang memikul kayu api menuju desa Vitshumbi © RdR/Mathias Rittgerott cagar alam Morowali Cagar Alam Morowali - status perlindungan tidak berguna (© CC BY-SA 2.0)

Kawasan lindung seperti taman nasional dalam lingkup internasional mempunyai peranan penting bagi pelestarian biodiversitas dan iklim. Oleh karena itu PBB dan pemerintahan dengan suara yang hampir bulat bertekat memberikan perlindungan pada 30 % wilayah bumi, hingga tahun 2030. Tetapi kawasan lindung mengandung resiko.

Ada berapa banyak kawasan lindung?

Penggembala ternak di Tanzania, suku Massai © hadynyah/istockphoto.com

Hingga Juni 2022 di seluruh dunia terdapat 253.368 kawasan lindung. Ini berarti 21 juta kilometer persegi wilayah dunia adalah kawasan lindung (sebelas kali lebih luas dari wilayah Indonesia). Tapi dengan rencana PBB “30 persen hingga 2030” kawasan lindung akan menjadi dua kali lebih luas.

Apa saja jenis-jenis kawasan lindung?

Jaguar di Cagar biosfer Indio Maiz di Nikaragua © Indio Maiz Reserva Biologica

Terdapat banyak jenis dan kategori kawasan lindung di dunia. Perbedaan ini terutama terletak pada, apa yang perlu dilindungi di sana, siapa yang bertanggung jawab, apa yang diijinkan dan dilarang? Anda bisa membacanya di ikhtisar umum.

Di Indonesia lingkupnya mencakup suaka burung, cagar alam hingga taman nasional dan cagar biosfer. Hutan lindung adalah kawasan hutan khusus yang mempunyai fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi tanah dan memelihara kesuburan.

Di tingkat internasional situs warisan dunia dan Man and the Biosphere Reserves dari Unesco serta situs Ramsar tentang konservasi lahan basah, memiliki peranan sangat penting. Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) membagi kawasan lindung ke dalam 6 kategori. Kategori 1 terdiri dari a) „Strict Nature Reserve“ dan b) „Wilderness Area“ berisi hampir sepenuhnya melarang kegiatan manusia. Kategori 6 „Protected Area with Sustainable Use of Natural Resources“ sebaliknya mengijinkan usaha pertambangan dalam batas tertentu.

Konvensi Keanekaragaman-hayati (Convention on Biological Diversity, CBD) dari PBB berkisar tentang „protected areas“ dan „other effective area-based conservation measures“ (“Kawasan lindung dan langkah-langkah konservasi berkaitan dengan kawasan yang berguna lainnya”).

Di negara-negara berbahasa Inggris digunakan juga sebutan seperti Game Reserves, Game Controlled Area (taman berburu) dan Wildlife sanctuaries.

Istilah seperti “Taman Nasional” dan “Warisan Dunia” meskipun berkonotasi perlindungan tertinggi, tapi sering kali menjadi magnet wisata yang bisa berdampak buruk bagi alam oleh karena pembangunan jalan, hotel, jalur hiking dan main ski.

Mengapa tema kawasan lindung kini menjadi ramai dibicarakan?

Gunung berapi di Taman Nasional Virunga © CC BY-SA 2.0

Satu alasan mengapa peranan kawasan lindung kini ramai diperdebatkan karena adanya rencana PBB dan banyak negara untuk menjadikan 30 persen wilayah dunia sebagai cagar alam. Bahkan WWF dan beberapa ilmuwan mencanangkan 50 persen.

Semasa Konferensi Biodiversitas Dunia dari PBB pada Desember 2022 di Montréal (Kanada), negara-negara peserta Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity, CBD) telah menetapkan tujuan “30 by 30”. Ini berarti hingga tahun 2030 nanti 30% wilayah daratan dan perairan di dunia akan dijadikan cagar alam.

Hal ini berkisar „protected areas“ dan „other effective area-based conservation measures“ (“Kawasan lindung dan langkah-langkah konservasi berkaitan dengan kawasan yang berguna lainnya”). Belum jelas, bagaimana hal itu dilaksanakan, dianalisa dan diamati.

Perjanjian kerangka kerja „Kunming-Montréal Global Biodiversity Framework“ akan mengatur politik cagar alam selama berpuluh-puluh tahun, jauh melampaui 2030.

Apakah Selamatkan Hutan Hujan sebagai LSM perlindungan alam justru menentang kawasan lindung?

Gorila dan Ranger di Taman Nasional Virunga Gorila dan Ranger di Taman Nasional Virunga (© RdR/Mathias Rittgerott)

Tidak, Selamatkan Hutan Hujan secara intrinsik tidak menentang kawasan lindung.

Banyak kawasan lindung yang berperan penting dalam pelestarian biodiversitas dan iklim. Oleh karena itu LSM ini sering mengkritik jika kawasan lindung terancam, contohnya karena di sana dibagikan konsesi penebangan pohon atau pertambangan minyak bumi, HPH, HTI atau IUP. Juga LSM ini mengkritik penyempitan kawasan lindung dalam berbagai kasus.

Kawasan lindung bukanlah obat mujarab, malahan bisa membawa resiko dan membuat langkah-langkah yang diperlukan malah jadi terabaikan. Menetapkan kawasan lindung kesannya mudah, sebaliknya hal perubahan mendasar akan kebiasaan mengkonsumsi dan kepentingan ekonomi, tidak populer dan sulit dilaksanakan.

Dari mana datangnya ide 30 persen?

Sidang pleno semasa COP 15 Sidang pleno semasa COP 15 - Konferensi Keanekaragam Hayati (© Rettet den Regenwald / Mathias Rittgerott)

Pada tahun 2011, berbagai negara telah menetapkan sebuah angka sebagai tujuan: Hingga tahun 2020 sedikitnya 17% daratan dan perairan di wilayah daratan atau 10% dari pesisir dan lautan dijadikan cagar alam. Namun tidak satupun dari yang disebut tujuan-tujuan AICHI ini benar-benar dapat dicapai. Serupa dengan Sustainable Development Goals (SDGs) untuk pembangunan berkelanjutan.

Angka 30 persen bisa ditafsirkan sebagai instrumen marketing.

Menurut Konferensi Biodiversitas Dunia untuk Perlindungan Spesies, target 30 % harus menggaung dan praktis, seperti tujuan 1,5 derajat perjanjian Paris untuk perlindungan iklim.

“30 hingga 30” lebih menarik perhatian ketimbang “25 hingga 2030” atau “40 hingga 2025”. Tapi yang jelas tidak ada dasar ilmiah tentang angka tersebut. Pada Juni 2022 para peneliti dalam majalah Science telah menghitung jumlah 44 persen sebagai tujuan perlindungan, dimana 1,8 miliar manusia hidup. Ahli biologi yang terkenal dan penulis Edward O. Wilson menyebut tujuan itu „setengah bumi“ - yang kemudian terdengar seperti bahwa manusia membagi bumi secara adil dengan alam.

Menurut sebuah studi tahun 2020 adalah cukup dengan memperluas 2,3 persen areal kawasan lindung, agar spesies yang terancam punah atau langka bisa dilindungi. Yang anehnya, para penulis studi tersebut justru mendukung target 30 persen.

Jika kawasan lindung yang resmi (kini 17 % terdapat di dataran) ditambah dengan wilayah yang dikelola masyarakat adat, maka sudah terdapat 31% wilayah bumi yang dilindungi. Jumlah ini tertulis dalam Territories of Life Report dari tahun 2021.

Artinya: Jika semua wilayah masyarakat adat yang menampung 80% dari semua jenis spesies di dunia diakui dan dijamin, target 30% sebenarnya sudah tercapai. Ini menunjukkan bahwa hak-hak masyarakat adat dan perlindungan biodiversitas saling erat berkaitan.

Apakah persentase benar-benar berguna?

Perempuan sedang memikul kayu api menuju desa Vitshumbi © RdR/Mathias Rittgerott

Hal ini bisa diperdebatkan. Contohnya, orang bisa meraih 30% dengan jalan ia melindungi gurun Sahara, utara Kanada dan Siberia. Namun untuk biodiversitas hal ini tidak banyak berguna. Karena terutama di sana sedikit orang yang tinggal, jadi konflik sosial bisa lebih mudah dihindari.

Jika 30 % ini bisa bermanfaat, maka daerah-daerah yang memiliki biodiversitas yang tinggi harus dilindungi - terutama hutan hujan. Meskipun di sana hidup jutaan manusia, hak-hak mereka akan ditindas agar target 30 % tercapai. Belum lagi biodiversitas terbanyak sering kali terdapat di teritorium masyarakat adat atau kelompok masyarakat marginal lainnya. Oleh karena itu sumber kehidupan dan pola hidup mereka terancam.

Sebenarnya tujuan 30 % ini sudah bisa dicapai saat kini, jika teritorium masyarakat adat dijamin. Oleh karena itu PBB dan pihak yang berwenang lainnya harus mengakui bahwa pola hidup masyarakat adat berperan sangat penting bagi perlindungan alam.

“30 hingga 30” mengisyaratkan bahwa krisis spesies bisa diatasi dengan relatif mudah, tanpa perubahan mendasar dari pola konsumsi dan ekonomi kapitalis barat. Dengan begitu tujuan ini menghindari solusi yang sebenarnya dan memperparah krisis, baik untuk alam dan juga manusia.

Kritik apa saja terhadap kawasan lindung?

cagar alam Morowali Cagar Alam Morowali - status perlindungan tidak berguna (© CC BY-SA 2.0)

Kritik terhadap kawasan lindung ada tiga. Pertama: Apakah hal ini banyak berguna bagi perlindungan biodiversitas? Kedua: Apakah hak-hak penduduk atau masyarakat adat setempat diperhatikan? Ketiga: apakah kawasan lindung cocok dengan kearifan lokal?

1. Apakah kawasan lindung bisa berfungsi?

Meskipun jumlah kawasan lindung di dunia luar biasa banyaknya, tetapi krisis iklim dan biodiversitas semakin meruncing. Tahun 2010 negara-negara anggota PBB telah menetapkan target menghentikan kepunahan spesies melalui lebih banyak dibangun kawasan lindung. Namun tak satupun dari 20 tujuan AICHI ini yang tercapai.

Beberapa kawasan lindung pada dasarnya hanya eksis di atas kertas. Tempat-tempat ini dikelola tidak dengan baik dan peraturan tentang apa yang diijinkan dan dilarang tidak dijalankan. Ada juga “taman nasional” yang tidak lebih sebagai tempat bermain atau perkebunan dan pertambangan ilegal. Sebutan “taman nasional” digunakan untuk menjaring para turis atau memperkuat citra diri bangsa.

Selain itu, pemerintah setiap saat bisa mengurangi atau bahkan menghapus status kawasan lindung, contohnya jika di sana terdapat cadangan minyak bumi atau batu bara yang mau digali. Jadi status taman nasional tidak otomatis berarti selamanya.

Berlawanan dengan bayangan yang tersebar, Unesco pun tidak memiliki kekuatan memaksa negara untuk melindungi situs-situs warisan dunia. Unesco bisa memohon adanya perbaikan dan dalam keadaan tertentu mencabut titel “warisan dunia”, tidak lebih.

2. Apakah kawasan lindung memperhatikan HAM?

Ketika tujuan “30 hingga 30” diumumkan menjelang Konferensi Biodiversitas Dunia, organisasi-organisasi HAM dan masyarakat adat segera memberikan peringatan. Mereka khawatir masyarakat adat dan penduduk lokal akan menjadi pihak yang dikorbankan. Hingga 300 juta manusia bisa terkena dampak buruknya, bila wilayah-wilayah tertentu tiba-tiba harus dilindungi, padahal disana manusia sudah hidup harmonis dengan alam. Begitu banyaknya manusia yang hidup di “key biodiversity areas”, dimana dari area-area itu secara formal hanya 15 % saja yang memiliki status dilindungi. Jika 50% wilayah bumi dijadikan kawasan lindung, maka lebih dari setengah milyar manusia akan terancam. Banyak dari mereka yang harus dipindahkan, selain hal ini tidak akan bisa terbayar, juga akan melukai hak-hak mereka dan merusak sumber kehidupan mereka.

Konsep kawasan lindung bisa mengikuti pendekatan neo kolonialis ”Konservasi Benteng” gaya militer (Fortress Conservation) yang tidak mengikut sertakan penduduk lokal dan masyarakat adat pada umumnya. Sebaliknya konsep ini menindas dan memarginalkan serta melanggar hak-hak mereka. Pengalaman dari kawasan lindung di Afrika dan Asia sangat mencemaskan. Contohnya di cekungan Kongo pada pendirian 34 kawasan lindung terdapat 26 kasus dimana masyarakat setempat digusur tanpa kompensasi.

3. Apakah kawasan lindung sesuai dengan nilai-nilai budaya?

Konsep kawasan lindung berdasarkan pemahaman bahwa manusia dan alam saling berdiri bertentangan. Semakin sedikit manusia, semakin baik buat alam. Di banyak daerah, pandangan seperti ini disebarkan pertama-tama oleh penguasa kolonial Kristen Eropa. Sebaliknya sejumlah besar budaya masyarakat adat, mitos dan agama melihat hubungan manusia dan alam sebagai satu kesatuan. Dengan begitu konsep kawasan lindung yang melindungi alam dari manusia adalah tidak benar.

Nilai pola hidup masyarakat adat dan penduduk setempat lainnya diremehkan oleh adanya kawasan lindung, bahkan dikriminalisasi. Contoh: perburuan tradisional dinyatakan sebagai perburuan liar. Jadinya konsep ini mengalihkan tanggung jawab dan membuat pihak yang tidak bersalah menjadi pelaku kejahatan.

Apa hubungannya „30 hingga 30“ dengan keadilan global?

Ringkasan: Negara-negara tertentu di belahan utara dunia menjadi kaya karena aksi brutalnya menjarah alam yang menyebabkan krisis biodiversitas dan iklim. Kini di beberapa belahan bumi dijadikan kawasan lindung agar krisis tidak semakin tajam. Oleh sebab alam yang masih utuh dan biodiversitas yang terbesar kebanyakan berada di negera-negara tropis yang miskin, maka negara-negara ini menanggung beban terbesar. Alasannya: negara-negara ini tidak bisa memanfaatkan sumber daya alamnya, karena harus dijadikan kawasan lindung.

Jadi negara-negara miskin dituntut untuk rela, sementara negara-negara kaya hampir tidak pernah membatasi konsumsi sumber daya alam.

Selama COP 15 terlihat bahwa negara-negara industri bersedia dalam batasan tertentu memberikan negara-negara berkembang kompensasi finasial untuk perlindungan alam atau membayarnya. Jumlah 20 miliar dollar yang akan diterima negara-negara berkembang tiap tahunnya mulai tahun 2025 sebenarnya sangat sedikit. Bahkan dengan 30 miliar dolar mulai tahun 2030, menurut para ahli, belum cukup. Bisa dilihat bahwa hanya sebagian kecil dari jumlah uang itu yang akan diterima masyarakat adat dan penduduk lokal lainnya.

Siapa yang mengambil keuntungan dari kawasan lindung?

Program-program seperti „30 by 30“ mengikuti pola pikir kapitalis: Cagar alam adalah bisnis miliaran. Alam mendapat lebel harga, sementara “wilayah” menjadi mata uang. Para kritisi melihat hal ini sebagai sumber keuangan baru bagi “industri cagar alam”.

Pendirian dan pengelolaan kawasan lindung serta “langkah-langkah pelestarian wilayah strategis lainnya” bisa menggiurkan dan menawarkan satu model bisnis bagi perusahaan-perusahaan dan organisasi-organisasi lingkungan hidup yang besar. Selain itu dijanjikan dengan „carbon offset“, „market-based solutions" dan „nature-based solutions“ seperti penanaman pohon berskala besar yang juga dipropagandakan sebagai perlindungan iklim, pemasukan yang permanen.

Kini kawasan lindung seperti taman nasional dikelola sebagai Public Private Partnership (PPP). Negara-negara menyerahkan tanggung jawab dan pengawasannya kepada perusahaan-perusahaan atau LSM.

Contohnya organisasi African Parks , salah satu organisasi yang didirikan miliarder asal Belanda Paul Fentener van Vlissingen, pada 2022 telah mengelola 22 taman nasional di 12 negara Afrika dengan luas keseluruhan lebih dari 20 juta (hampir separuh pulau Sumatra). Hingga tahun 2030 nanti organisasi ini ingin memperbanyak jumlah taman nasionalnya hingga 30. Menurut sebuah situs web, usaha ini “jelas mengejar aspek ekonomi atas nama perlindungan dunia hewan Afrika”. Presiden organisasi ini adalah seorang anggota keluarga kerajaan Ingris yaitu Pangeran Harry, Duke of Sussex.

Adakah hubungannya wilayah lindung dengan kolonialisme?

Banyak kawasan lindung terutama di Afrika didirikan oleh pemerintah kolonial. Juga peraturan kawasan lindung dan jawatan taman nasional berasal dari masa kolonial yang kemudian diambil alih negara-negara yang bersangkutan setelah mendapatkan kemerdekaannya. Contohnya: Tanzania Wildlife Authority (TAWA)

Bahkan kawasan lindung yang baru juga masih terpengaruh kolonialisme.Di balik sejumlah besar kawasan lindung ada pemikiran: Alam Afrika harus dilindungi dari orang Afrika. Penduduk asli dikriminalisasi sebagai pemburu liar. Sementara turis kulit putih yang ingin berwisata buru disambut hangat. Penduduk asli dijadikan sebagai objek foto dan pemandu.

Para kritikus menyebut “Kolonialisme hijau”. Manusia di negara-negara maju bisa menikmati gaya hidupnya yang boros dan mencemari iklim, sementara manusia di negara-negara miskin harus menanggung derita akibat wilayahnya dan dirinya harus dikorbankan karena ulah orang-orang tersebut.

Menyebut alam “tak terjamah” mengabaikan fakta bahwa memang masyarakat adat sudah lama hidup di sana dan makanya telah “menjamah” hutan. Tetapi mereka tidak merusak.

Apa yang terkandung dibalik istilah „Fortress Conservation“ dan militerisasi?

Di balik cagar alam sebagai benteng“ ada gambaran bahwa alam dilestarikan paling baik jika manusia dijauhkan darinya. Artinya tak lain adalah manusia harus meninggalkan wilayahnya, segera jika wilayahnya dijadikan cagar alam, meskipun wilayah itu sudah sejak dahulu dihuni nenek moyang mereka.

Dengan mengikuti konsep ini, maka sebelum pembangunan kawasan lindung dimulai, desa-desa disekitarnya harus dipindahkan. Penduduk dilarang hidup di kawasan itu, mengolah sawah atau ladang, menangkap ikan atau berburu. Bahkan ada juga larangan memasuki wilayah, contohnya untuk melakukan upacara adat. “Benteng” sering dibatasi dengan batu pembatas, parit atau pagar. Para ranger yang bisa jadi bersenjata mengawasi agar larangan-larangan itu dipatuhi.

Tapi dari larangan-larangan ini ternyata ada pengecualian, terutama untuk wisatawan (berburu) dan ilmuwan.

Jika para ranger dipersenjata dengan senapan berat dan dilatih secara militer, maka hal ini disebut “militerisasi cagar alam”. Ternyata memang ranger atau eco-guards itu mendapatkan pendidikan para militer dari tentara. Di beberapa wilayah seperti di Taman Nasional Kahuzi-Biega dan Virunga di Republik Demokrasi Kongo, militerisasi dipahami secara harafiah, karena para ranger terlibat dalam perang saudara dengan milisi dan merupakan pihak yang tidak netral. Sering terdapat misi bersama dari eco guards dan tentara.

Baru saat situs web Buzzfeed News tahun 2019 memberitakan adanya pelanggaran HAM oleh para ranger yang didukung oleh WWF, maka masalah penduduk yang menderita oleh „Fortress Conservation“ dan cagar alam yang termiliterisasi menjadi terkenal.

Koran harian taz telah merangkumnya dalam serial artikel berjudul “tentara hijau” dengan taman nasional di negara Republik Demokrasi Kongo.

Adakah alternatifnya? Ya: teritorium masyarakat adat dan hak atas tanah

Untuk melestarikan alam tidak perlu dideklarasikan wilayah lindung dengan serta-merta.

Studi dan pengalaman para pelindung lingkungan menunjukkan bahwa alam dalam kondisi yang lebih baik, jika di sana masyarakat adat dan penduduk lokal lainnya yang bertanggung jawab dan memiliki hak atas tanah. Bila kerusakan hutan diamati secara global maka di teritorium masyarakat adat jelas lebih sedikit dibanding kawasan lindung milik negara.

Di samping itu 80 % biodiversitas berada di wilayah masyarakat adat.

Dengan demikian masyarakat adat adalah penjaga hutan terbaik. Oleh karena itu hak-hak mereka harus diperkuat dalam hubungannya dengan perlindungan iklim dan biodiversitas. Para ahli menyebutnya konservasi berbasis hak-hak (rights-based conservation), bukannya konservasi berbasis wilayah (area-based conservation).

Hal ini berisi:

  • Hak-hak masyarakat adat dan penduduk lokal lainnya harus diakui dan dijamin. Hal ini mencakup jaminan hak-hak atas hutan dan tanah, hak atas persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (free, prior and informed consent), perlindungan atas kekerasan dan penggusuran dan keikut-sertaan yang adil pada perkembangan ekonomi dan sosial. Sebagai dasar dari semua ini sering kali adalah pemetaan wilayah masyarakat adat. Mereka harus diikut sertakan dalam hal ini.
  • Dari berbagai alasan, kemiskinan harus diberantas, pendapatan alternatif harus ditemukan dan mutu pendidikan harus ditingkatkan. Cagar alam adalah salah satu alasannnya.
  • Soft tourism bisa mempunyai peran penting, tetapi tidak boleh menyebabkan penggusuran manusia.
  • Peranan masyarakat adat dan penduduk lokal lainnya pada perundingan nasional dan internasional dan pada pelaksanaan atau pengawasan keputusan yang sudah diambil harus diperkuat. Pengetahuan tradisi masyarakat adat juga harus dilibatkan.
  • Masyarakat adat dan penduduk setempat lainnya harus dibekali pendanaan yang lebih baik agar mereka tanpa batas bisa menjalankan peran mereka sebagai penjaga alam. Hingga kini mereka mendapatkan hanya bagian kecil dari dana yang dijanjikan pihak internasional bagi perlindungan iklim.

Yang penting dari mengatasi penyebab krisis iklim dan biodiversitas yaitu dengan mencegah kepentingan profit dan ekonomi yang berpihak sebelah dan segera mengurangi konsumsi bahan mentah, produk pertanian dan energi yang berlebihan.

Secara teori bisa saja masyarakat adat membabat hutan dan sumber daya lainnya tanpa perduli, bila mereka memiliki hak atas lahan. Tapi kenyataannya hal ini jarang terjadi. Wakil masyarakat adat tentu menentang pandangan bahwa mereka merelakan sebagian atau seluruh wilayahnya dijadikan cagar alam dan tidak akan memanfaatkannya lagi.

Informasi berikutnya tentang masyarakat adat dan hak-haknya sesaat lagi bisa Anda baca di halaman tema kami yang kami lengkapi secara bertahap.

Adakah „kawasan lindung“ yang baik?

Tentu saja ada banyak kawasan lindung yang berfungsi baik dan memperhatikan hak-hak dan tradisi masyarakat setempat.

Tetapi kawasan lindung yang tidak memenuhi persyaratan juga tidak sedikit jumlahnya.

Setelah kasus pelanggaran HAM di Taman Nasional Kahuzi-Biega dan di kawasan lindung yang dikelola WWF, jawatan yang bertanggung jawab, politisi dan organisasi-organisasi menyatakan agar ranger diberi pelatihan yang lebih baik dan diajarkan tentang hak-hak masyarakat setempat. Apakah itu ada gunanya, masih belum diketahui. Selain itu masalah-masalah yang mendasar dari “konservasi benteng” (Fortress conservation) tidak berubah.

Beberapa mitra dari Selamatkan Hutan Hujan sedang berusaha merekonsiliasi penduduk dengan kawasan lindung. Contohnya bantuan CAMV untuk masyarakat adat Batwa yang menderita akibat pendirian Taman Nasional Kahuzi-Biega di Republik Demokrasi Kongo. Begitu juga organisasi Réseau CREF yang bekerja di Kongo. Hal yang ditangani adalah konflik antara penduduk setempat dengan Taman Nasional Virunga (informasi selanjutnya ada di sini). Kedua taman nasional itu berfungsi melindungi gorila yang sudah terancam punah.

Selain „30 hingga 30“: Apa yang telah diputuskan selama COP 15?

Para politisi merayakan perjanjian itu sebagai tonggak sejarah bagi penyelamatan alam dan menyerukan “semangat Montréal“. Tapi jangan gembira dulu, karena perjanjian itu bukanlah mengikat. Apakah pemerintahan benar-benar menjalankan aspek-aspek yang positif, tidak dijamin.

Penyerahan petisi bersama organisasi Indonesia dan mancanegara Afrika Alih-alih membentengi konservasi alam perkuat masyarakat adat

Siaran Pers Selamatkan Hutan Hujan Tinjauan Konferensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati COP 15 di Montréal

Analisa Konferensi Biodiversitas Dunia yang lengkap bisa Anda baca di sini dalam bahasa Jerman.

Perjanjian kerangka kerja „Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework“ (GBF) bisa dibaca di sini. Kesimpulan yang resmi telah dipublikasikan PBB di sini.



Pesan buletin kami sekarang.

Tetap up-to-date dengan newsletter gratis kami - untuk menyelamatkan hutan hujan!