Alam dengan hak-hak: Hak-hak untuk alam

Epifit di hutan hujan Ekuador Sebuah pertanyaan perspektif: Kita melihat alam sebagai subyek atau obyek? (© Jenna Kulp) Masyarakat adat Munduruku Keberlangsungan hidup masyarakat adat terkait langsung dengan kelestarian alam. (© Mayra Galha) Alat berat untuk pembangunan jalan di Peru Sebuah pertanyaan perspektif: Kita melihat alam sebagai subyek atau obyek? (© York Hovest) Kolase - Los Cedros - Regenwald Report 1-21 Di hutan suaka Los Cedros belalang dengan nama biologi Trimerotropis axatilis menemukan habitatnya seperti juga tumbuhan pitcairnia nigra, sebuah genus tumbuhan bromelia. (© Andreas Kay/CC BY-NC-SA 2.0)

Manusia tidak sanggup menghentikan perusakan alam. Mengingat urgensinya maka masyarakat adat, ilmuwan dan aktivis berpikir apakah tidak ada jalur hukum dimana alam memiliki hak-hak yang dijamin.

Keadaan alam dan biodiversitas semakin buruk. Pola hidup dan perekonomian modern barat merusak ekosistim, menyebabkan kepunahan yang serius dan mengubah iklim dunia. Kita mengubah alam menjadi perkebunan, ladang, padang pengembalaan, pemukiman, sarana transportasi, tambang terbuka atau waduk. Aktivitas kita meracuni dan mencemari lingkungan dan mahluk hidup. Yang jelas dilupakan banyak orang: Alam tidak membutuhkan kita – tapi kita yang membutuhkan alam. Jelas pula bahwa UU lingkungan dan peraturannya tidak mencukupi. Kita harus segera memutar otak merubah pola hidup dan menurunkan secara drastis konsumsi sumber daya kita. Semakin banyak organisasi akar rumput dan ilmuwan dari seluruh penjuru dunia yang mencari pendekatan yang baru dan melengkapi: Mereka berusaha menemukan sebuah perlindungan yang lebih efektif, lebih terjamin dan lebih berjangka panjang dengan jalan menciptakan perangkat hukum yang baru.

Ini adalah gerakan hukum, tapi juga gerakan ekologis, sosial bahkan etis dan filosofis yang paling dalam dengan nilai simbolis yang tinggi. Para pendukung memberikan perhatian kembali pada kepercayaan masyarakat adat tentang alam sebagai ibu pertiwi dan tidak menempatkan manusia di atas alam. Masyarakat adat melihat lingkungan hidup tidak lagi sebagai obyek, melainkan sebagai subyek yang mandiri. Tujuan mereka adalah cara pandang sistim hukum baru yang tidak lagi antroposentris. UU lingkungan hidup konvensional meletakkan manusia secara hirarki di atas alam dan memberikan manusia hak untuk menguasai sumber daya alam. Lingkungan hidup dilihat sebagai barang milik atau obyek yang bisa diperah dan dirusak. Dalam hal ini hukum selain mengatur perlindungan juga mengatur penggunaan dan instrumentalisasi alam. Ini semua malah memperlemah perlindungan alam yang sungguh-sungguh.

Di Jerman meskipun setelah melewati debat yang panjang dan sengit di tahun 1993 akhirnya perlindungan alam dimasukkan sebagai tujuan negara dan kemudian tahun 2002 dilengkapi oleh perlindungan hewan, tapi alam tetap sebagai obyek yang dipertahankan manusia. Alam dalam hal ini masih obyek bukan subyek yang bisa memutuskan sendiri atas nasibnya. Dalam pasal 20a yang baru dibuat di UUD berbunyi: „Negara dalam tanggung jawabnya bagi generasi masa depan juga melindungi sumber kehidupan alam dan hewan dalam tatanan konstitusional dengan UU dan sesuai dengan tatanan hukum oleh pihak eksekutif dan yurisdiksi.“

Jika kita bisa memperlakukan alam tidak lagi sebagai obyek penderita melainkan sebagai subyek hukum dan memandangnya sebagai badan hukum dengan hak-haknya sendiri, maka alam akan mendapatkan sesuatu yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya: sebuah kategori yang utuh, sebuah status persekutuan ekologis yang tidak tergantung dari kebutuhan atau ambisi manusia.

Hak alam akan mengganti fokus perhatian: lepas dari manusia menuju alam seutuhnya atau menjadi bagian dari sungai, hutan dlsb. Tujuannya adalah mengakui secara hukum nilai alam yang sangat tinggi serta arti pentingnya, sehingga mereka mendapatkan hak hidup sendiri dan tidak bisa dirusak lagi. Kepribadian hukum milik sendiri ini memungkinkan untuk mempertahankan alam di depan pengadilan, menuntut hak alam dan berjuang melindungi alam. Tujuan akhirnya adalah mempertahankan integritas dan kesehatan bumi kita. Untuk itu cara pandang baru sangat diperlukan lewat pergantian cara pandang lama dengan cara pandang sistim hukum yang sudah dirubah.

Belajar dari tradisi masyarakat adat

 

Di beberapa negara Afrika hubungan manusia dengan batas wilayahnya berkaitan dengan kelestarian alam dan tempat-tempat sucinya. Di Asia masyarakat adat menganggap sungai mempunyai arti yang sakral, contohnya di India. Berbagai masyarakat adat di Amerika Latin, seperti masyarakat di wilayah Anden, mengenal istilah hidup bersama dalam keberagaman dan harmonis dengan alam atau Sumak Kausay. Mereka memandang alam secara utuh, sebagai ibu pertiwi atau Pacha Mama.

Pengertian ini membentuk pola kehidupan masyarakat adat. Hal ini menjadikan tauladan bagi sistim hukum di barat untuk berpikir baru. Sebab mereka telah membuat sistim yang sudah berfungsi untuk mengatur hubungan dengan sesama dan dengan alam. Sayangnya di puluhan tahun belakangan banyak negara malah ingin memperlemah atau menggantikan pola hidup tradisional alam ini. Sebuah negara modern membanggakan dirinya dengan perkembangan dan penguasaan alam, tapi tidak dengan pengertian alam dari masyarakat adat.

Alam itu sendiri adalah nilai

 

Pengertian masyarakat adat yang setara antara manusia, hewan dan tumbuhan bisa mendorong perbaikan sistim hukum di seluruh dunia. Saat ini pemahaman hukum kita malah mendukung pihak yang merusak alam. Barang siapa mengurus perlindungan alam, sangat sering dikesampingkan dan diabaikan oleh pihak berwenang – bahkan di banyak negara dikriminalisasi dan dikekang. Bila alam menjadi subyek hukum, tidak hanya penting bagi sistim perlindungan yang lebih baik tapi juga bagi habitat manusia yang akhirnya mendapatkan nilai tinggi yang layak mereka terima. Sebab setiap kehidupan – dari manusia, hewan dan tumbuhan – adalah sangat berharga untuk bumi dan juga kita disaat kini dan di generasi mendatang.

Kasus Corona-Pandemi salah satu contohnya. Di hutan hujan tropis terdapat ribuan patogen yang belum dikenal, contoh virus. Virus-virus ini menyelubung contohnya ke dalam hewan pengerat. Sebelumnya jumlah virus yang terselubung di hewan ini sedikit dan praktis tidak punya kontak dengan manusia. Tapi ketika alam dirusak sehingga ekologinya tidak lagi seimbang, maka hewan-hewan yang sudah mengandung virus ini berkembang biak di luar habitatnya dan berada dekat dengan manusia. „Siapa yang ingin menghindari pandemi, harus melestarikan keaslian ekosistem seperti hutan hujan“, kata ahli virologi Sandra Junglen dari Charité - Rumah Sakit Universitas Humboldt di Berlin. Ia meneliti berbagai ekosistem yang berbeda-beda tentang pola penyebaran virus yang belum dikenal sebelumnya.

Petisi terkait

Tanda tangan Anda dapat membantu melindungi hutan hujan! Petisi kami menentang proyek yang menghancurkan hutan hujan - dan menyebut nama pihak yang bertanggung jawab. Bersama kita akan kuat !

Seorang perempuan masyarakat adat yang duduk di atas tanah membuat rajutan dari serat tumbuhan. Suku Manjui membuat barang bekas dan kerajinan tangan dari serat tumbuhan (© Tierra Libre)

105.534 Pendukung

Masyarakat adat Manjui di hutan Chaco - Paraguay hanya bisa hidup dengan tanah ulayat

Masyarakat adat Manjui di Chaco – Paraguay terancam oleh pembersihan etnis terselebung. Tanah leluhurnya dan hutan kering diambil oleh perusahaan daging sapi dan arang dan ditebang. Meskipun pemerintah Paraguay tahun 1988 telah membeli sebagian tanah untuk suku Manjui tapi hingga kini belum diberikan kepada mereka.

informasi lebih lanjut

Kepada: Presidente del Instituto Paraguayo del Indígena INDI (Presiden Institut Nasional Untuk Masyarakat Adat INDI)

“Kami menuntut pengembalian lahan kepada masyarakat adat Manjui di Chaco – Paraguay: Segera kembalikan lahan yang sudah dicanangkan untuk mereka!”

Membaca surat

Pesan buletin kami sekarang.

Tetap up-to-date dengan newsletter gratis kami - untuk menyelamatkan hutan hujan!