Hak konstitusional atas tanah dibatasi oleh syarat birokrasi

Hendrikus Woro, seorang masyarakat adat Awyu Perjuangan yang dilakukan Hendrikus Woro tidak akan berhenti mengamankan wilayah adatnya (© Pusaka) Permempuan masyarakat adat suku Awyu Hutan hujan merupakan mama dan sumber kehidupan untuk masyarakat adat Suku Awyu (© Pusaka)

6 Mar 2023

Syarat birokrasi membatasi dan melanggar hak konstitusional masyarakat adat atas tanah ulayat. Cerita dari Boven Digoel adalah satu contoh dari ribuan kasus.

Suara Hendrikus Woro meninggi. Sudah tiga kali beliau mendatangi kantor dinas yang mengurusi Lingkungan Hidup di Kabupaten Boven Digoel untuk menanyakan permohonan informasi yang dikirimkan pada Mei 2022. Seorang petugas honorer yang menemuinya mengatakan belum ada disposisi dari pimpinan. Bagaimana tidak mutung, Hendrikus berjalan sejauh empat kilometer untuk bertemu dengan pejabat dinas di daerah ini. Hari ini (28 Juni 2022), ketiga kalinya dia datang, diminta menunggu dan tanpa hasil.

Beberapa hari kemudian staf dinas menemuinya dan menyatakan tidak bisa memberi informasi tanpa alasan apapun. Hendrikus mengatakan

kami pemilik tanah adat kenapa tidak bisa mendapatkan informasi, hak kami dilanggar.

Sejak tahun 2017, Komunitas Paralegal Cinta Adat Suku Awyu menolak rencana perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah adat Suku Awyu. Komunitas ini dibentuk Hendrikus Woro bersama tokoh-tokoh adat Awyu, tujuannya menjaga hutan dan tanah adat Awyu.

Tanpa berbicara dengan masyarakat adat, Pemerintah Kabupatan Boven Digoel menerbitkan izin kepada perusahaan kelapa sawit di wilayah adat Suku Awyu, lokasinya diantara Kali Mappi dan Kali Digoel, luasnya mencapai 260.000 hektar, luasnya serupa empat setengah kali luas wilayah DKI Jakarta, terluas untuk satu jenis tanaman monokultur. Ada peran salah satu menteri Joko Widodo saat ini yaitu Zulkifli Hasan, saat menjabat menteri KLHK dengan melepas areal kawasan hutan di wilayah Suku Awyu, untuk dapat ditebangi diganti tanaman lain.

Pertengahan 2021, alat berat perusahaan membongkar hutan yang terletak dipinggir Kali Digoel, beredar isu akan dibangun pelabuhan alat-alat berat untuk pengembangan perkebunan sawit. Donatus Ana, salah satu anggota komunitas paralegal, menolak hutan adatnya digusur. Ia kemudian melakukan ritual penancapan salib merah sebagai tanda larangan membuka hutan, bila dilakukan sanksi adat berlaku. Sejumlah pihak melaporkan Donatus Ana ke Polsek Mandobo. Ia bersikeras untuk menolak perusahaan bukan kejahatan.

Menyadari ancaman semakin dekat, komunitas paralegal memutuskan harus mencari informasi yang jelas terkait legalitas perizinan perusahaan. Sejak Mei 2022, Hendrikus Woro bersama komunitas paralegal mengirimkan permohonan informasi ke dinas-dinas yang ada di Boven Digoel, mencari tahu apakah pemerintah telah mengeluarkan izin-izin perkebunan kelapa sawit di wilayah adatnya.

Upaya mencari informasi tidak mudah. Selama sebulan komunitas paralegal harus bolak balik dari satu dinas ke dinas lain, menunggu hingga harus berdebat. Sebuah informasi awal diperoleh, Dinas Penanaman Modal Terpadu Satu Pintu Kabupaten Boven Digoel membalas surat menyatakan informasi yang dicari menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Provinsi Papua.

Penelusuran melalui website resmi pemerintah provinsi pun nihil, artinya mereka harus ke Jayapura. Mereka sempat hilang harapan, mencari informasi ke Jayapura butuh biaya yang besar, informasi juga tidak akan langsung didapat mereka mengingat-ingat pengalaman buruk bolak-balik dinas. Mereka berpikir pemerintah tidak adil, seharusnya pemerintah mempermudah masyarakat mencari informasi

Komunitas Paralegal Cinta Tanah Adat meminta bantuan hukum ke Yayasan Pusaka dan LBH Papua dengan memberikan kuasa.

Ada dua permohonan ketersediaan infomasi yang diajukan, informasi izin lingkungan ke Dinas Perkebunan dan Kehutanan Provinsi Papua, informasi izin usaha perkebunan ke DPMPTSP Provinsi Papua. Hendrikus Woro terkejut saat memperoleh analisa dampak lingkungan hidup dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan. Hal ini langsung disampaikan ke komunitas paralegal, semua terkejut dan menahan amarah karena pemerintah dinilai diam-diam mengeluarkan izin lingkungan tanpa sepengetahuan masyarakat adat.

DPMPTSP Provinsi Papua tidak memberikan izin yang dimintakan justru meminta Hendrikus Woro melengkapi nama seluruh para pemilik ulayat secara kolektif, dilampirkan KTP dari masing-masing pemilik ulayat, yang diketahui kepala suku, kepala kampung, kepala distrik, pemerintah daerah kabupaten dan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) setempat

Edo Gobay, Direktur LBH Papua mengatakan “syarat itu membatasi dan melanggar hak konstitusional Hendrikus Woro sebagai masyarakat adat untuk memperoleh informasi publik”

Karena hak-haknya telah dilanggar, Hendrikus menggugat DPMPTSP Provinsi Papua hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN Jayapura). Tuntutannya meminta hakim PTUN Jayapura untuk menghukum DPMPTSP Provinsi Papua memberikan informasi ketersedian izin usaha perkebunan sawit diwilayah adatnya.

Informasi adalah hak dasar bagi masyarakat adat yang terdampak dari proyek pembangunan, konstitusi telah menjamin hal itu. Melalui informasi yang terbuka dan mudah dipahami masyarakat adat dapat memberikan pendapat dan menentukan menerima atau menolak. Pendapat dan keputusan ini harus dipertimbangkan untuk diputuskan. Ini adalah bagian dari partisipasi bermakna. Pembangunan saat ini kerap mengabaikan keterbukaan informasi, bila hak ini tidak dipenuhi sama dengan pengabaian terhadap masyarakat adat, ini merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia. Pengalaman Yayasan Pusaka mencari informasi senada dengan pengalaman Hendrikus Woro, sulit memperoleh akses informasi yang tersedia bahkan tertutup. Untuk menghindari kecurigaan dari masyarakat adat, keterbukaan informasi perlu diperbaiki pemerintah Papua untuk mewujudkan pemerintah yang bersih.

Saat ini Hendrikus Woro bersama Komunitas Paralegal Cinta Tanah Adat Suku Awyu berharap keadilan pada putusan hakim yang akan dibacakan pada tanggal 8 Maret 2023. Hendrikus Woro menyatakan perjuangan yang dilakukan tidak akan berhenti mengamankan wilayah adatnya.

Penulis: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat



Halaman ini tersedia dalam bahasa berikut:

Pesan buletin kami sekarang.

Tetap up-to-date dengan newsletter gratis kami - untuk menyelamatkan hutan hujan!