Putusan pengadilan PTUN membahayakan hutan Awyu di Boven Digoel

empat masyarakat adat Awyu dengan pakaian tradisional di depan gedung pengadilan Masyarakat adat Awyu: "Kami mengajukan banding! Pengadilan akan menentukan masa depan hutan Papua.“ (© Pusaka) Peta Boven Digoel Kabupaten Boven Digoel telah menjadi garis depan terakhir para penjarah (© Selamatkan Hutan Hujan) mendung dan kabut diatas rimba Sumber kehidupan bagi masyarakat adat, harta karun keanekaragaman hayati, secercah harapan bagi iklim - hutan hujan di Boven Digoel (© Pusaka)

12 Nov 2023

Masyarakat adat Awyu memperjuangkan hutan mereka di pengadilan. Namun, gugatan mereka ditolak oleh pengadilan di Jayapura. Hendrikus Woro, pemimpin suku Awyu, mengajukan banding. Solidaritas dari seluruh dunia sangat luar biasa.

"In dubio pro natura!" Para ilmuwan, pembela lingkungan, Komnas HAM, dan Gerakan Hutan Hujan Papua (GHKP) telah memohon kepada pengadilan untuk memutuskan sesuai dengan prinsip hukum ini dalam gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap pemerintah Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua dan perusahaan PT Indo Asiana Lestari. Pengadilan harus mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat, perlindungan lingkungan dan krisis iklim dalam putusannya "untuk memastikan keberlanjutan keberadaan hutan sebagai mata pencaharian masyarakat adat Papua."

Gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim diajukan oleh Hendrikus Woro, pemimpin masyarakat adat dari suku Awyu, pada bulan Maret 2023. Gugatan tersebut berlangsung selama tujuh bulan dan tidak lain adalah tentang pelestarian hutan Papua, bagian dari pulau Papua Nugini.

Hendrikus Woro menggugat pemberian izin lingkungan untuk perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh perusahaan Indo Asiana Lestari. 36.000 hektar hutan hujan dan hutan kering Awyu akan ditebang tanpa persetujuan masyarakat Awyu. Ini terjadi di salah satu hutan terluas dan terpadat di Asia Tenggara, rumah bagi kanguru pohon dan burung cenderawasih.

Solidaritas nasional dan internasional sangat besar: 267 organisasi, ahli dan individu dari seluruh dunia mengajukan banding ke pengadilan, termasuk Selamatkan Hutan Hujan dan bahkan sejumlah masyarakat adat Ka`apor dari wilayah Amazon yang jauh. Anda dapat membaca surat solidaritas kami kepada pengadilan disini: Voice of Justice – Open letter to Jayapura PTUN – panel of judge/ (Bahasa Inggris)

Pada tanggal 2 November, pengadilan membuat putusan menolak gugatan tersebut. "Keputusan pengadilan adalah berita buruk dan kemunduran bagi perlindungan lingkungan dan masyarakat adat Awyu, yang berjuang untuk melindungi hutan leluhur mereka dari ancaman deforestasi oleh perusahaan kelapa sawit," kata Pusaka, organisasi mitra kami.

Pengadilan mendasarkan keputusannya pada satu surat dari LMA yang tidak mewakili masyarakat adat Awyu dan tidak memiliki hak untuk memutuskan pembuakaan hutan masyarakat adat untuk deforestasi. "Hal ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat yang terkena dampak," ujar Tigor Hutapea dari tim hukum.

Pemimpin Awyu, Hendrikus Woro, kecewa dan sedih atas putusan pengadilan yang tidak adil. Ia bertekad untuk tidak menyerah dalam memperjuangkan tanah dan lingkungan. Emanuel Gobay dari tim kuasa hukumnya mengatakan: "Kami mengajukan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang telah diabaikan dan dilanggar. Putusan pengadilan melanggar hak-hak masyarakat adat dan hak asasi manusia yang dijamin secara konstitusional."

Gugatan lingkungan dan iklim didasarkan pada dua temuan: Informasi yang tidak terbuka untuk umum, baik mengenai perusahaan dan izin yang diberikan kepada mereka, maupun mengenai lokasi dan luas wilayah konsesi. Selain itu, hak masyarakat adat untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan telah dilanggar. Selain itu, masyarakat adat Awyu tidak dilibatkan dalam AMDAL.

Menurut salah satu perwakilan hukum, kritik terhadap pengadilan bukanlah tentang kesalahan dalam proses persidangan. "Pengadilan mengabaikan asas 'in dubio pro natura'. Prinsip ini berarti bahwa jika bukti-bukti meragukan, pengadilan memprioritaskan perlindungan terhadap lingkungan."

Dua organisasi lingkungan hidup mengajukan banding bersama Hendrikus Woro: dua mitra kami, Pusaka dan Walhi Papua, karena "Persidangan ini sangat penting bagi masa depan hutan hujan Papua, yang merupakan sumber kehidupan masyarakat adat Papua."

Latar belakang

Selamatkan Hutan Hujan telah melaporkan tentang rencana penebangan hutan besar-besaran untuk kelapa sawit di Tanah Merah, Boven Digoel di majalah „Regenwald Report" tahun 2020 (bahasa Jerman). Laporan tersebut membahas tentang izin yang mencurigakan untuk proyek Tanah Merah, perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia yang mencakup 280.000 hektar di hutan hujan dan hutan kering yang masih utuh di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan. Di sinilah tempat tinggal orang Awyu. Kami juga telah melaporkan tentang pelecehan terhadap hak-hak atas hutan di Papua dan bagaimana hak-konstitusional informasi dibatasi dari pihak berwenang. 

Dalam artikel Koalisi  Selamatkan Hutan Adat Papua dan masyarakat adat Awyu menuntut pemulihan hak-hak dasar masyarakat adat Papua, transparansi dan keadilan, Hendrikus Woro dihadirkan sebagai saksi intervensi dalam gugatan lain yang diajukan oleh dua perusahaan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada bulan Mei 2023. PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama telah mengajukan gugatan karena kementerian telah mencabut izin mereka - sebuah keberhasilan yang menggembirakan setelah kampanye intensif yang dilakukan oleh gerakan lingkungan. Kedua perusahaan tersebut telah menebang kira-kira 9.000 dari 74.000 hektar konsesi. Kehadiran Awyu, yang dipimpin oleh Hendrikus Woro, dalam persidangan menimbulkan kehebohan di Jakarta.

Surat Solidaritas oleh 267 organisasi, ahli dan individu

Voice of Justice – Open letter to Jayapura PTUN – panel of judge/

Halaman ini tersedia dalam bahasa berikut:

Pesan buletin kami sekarang.

Tetap up-to-date dengan newsletter gratis kami - untuk menyelamatkan hutan hujan!