Menyusuri Keindahan Meratus Lewat Alam Malaris
Melihat keadaan alam dan kehidupan masyarakat kampung Malaris di pergunungan Meratus membuat mitra kami Save Our Borneo semakin yakin: Hutan Lebih Baik Dikelola Masyarakat Adat.
Matahari condong ke barat, memantulkan cahaya hangat dan lembut di permukaan Sungai Wani-wani, salah satu anak sungai di desa yang dihuni masyarakat Dayak Loksado. Saat itu tepat pukul tiga (25/5/2025), kami tiba di Kampung Malaris, letaknya tersembunyi di kaki Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Memasuki kampung, mata kami disambut bangunan panjang terbuat dari anyaman bambu. Bangunan ini tampak sangat berbeda, mencolok. Atapnya seng berwarna merah. "Balai Adat Malaris," begitu bunyi tulisan pada sebuah plang kayu yang berdiri tegak di halaman depan bangunannya.

Tak jauh dari sana, rumah-rumah warga berjejer rapi, saling berhadapan seperti keluarga besar yang saling menjaga. Bangunan mereka khas, sering terlihat juga di perkampungan Dayak. Rumah-rumah terbuat dari kayu dan pasti memiliki teras. Namun, tidak bisa dipungkiri bangunan beton dan lantai keramik juga mulai dijumpai di sana.
Beberapa anyaman keranjang tampak tergeletak di beberapa teras rumah. Ada juga beberapa lansia yang tampak asik menganyam tak terusik lalu lalang anak-anak yang tampak ceria bermain, sesekali berlarian.
Kami terus masuk menelusuri kampung sampai tiba di bagian ujung. Buntu. Hanya ada rumah kayu dan pagar yang dipasang banyak spanduk. Ramai dengan spanduk malah.
Di sisi kiri ada jembatan gantung dan plang kecil penunjuk arah betuliskan MAC. Apa ini?
Sementara suara deru air terdengar semakin nyaring. Kami melangkah segera, melongok ke bawah dari atas jembatan dan disuguhi pemandangan bebatuan yang beradu dengan aliran air. Ini yang disebut Riam Barajang.
Susunan batunya yang acak justru menciptakan jeram-jeram yang memanjakan mata. Batu-batu alamnya berbagai ukuran, dari yang sangat besar sampai tak bisa dipeluk, ada juga yang seukuran genggaman anak kecil. Terhampar begitu saja, beradu dengan air. Namun, riak-riak yang dihasilkan meski nyaring tapi menenangkan.
Kami melanjutkan langkah dan menemukan lagi plang penunjuk arah bertuliskan MAC. Sebelum berbelok mengikuti arah plang itu, kami terpaku sesaat melihat air terjun kecil setinggi sekitar dua meter di hadapan mata. Di atas air terjunnya tampak ada beton. Dam, ya itu semacam bendungan. Ada plang besi di sana bertuliskan wilayah pembangkit listrik milik PLN (Perusahaan Listrik Negara).

Menarik. Pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Mereka menggunakan kekuatan air terjun dan riam yang memang jadi kekayaan di wilayah ini. Air terjun dari Sungai Uwit inilah yang jadi sumber listrik setempat.
Langkah kami lanjutkan. Kali ini melewati jalan sedikit menanjak, hanya trek pendek. Ketika berjalan menurun, di situ ada lagi plang dan spanduk. Kali ini besar dan bertuliskan MAC beserta penjelasannya. Glamping Malaris Adventure Camp (MAC).
Glamping atau kemah mewah. Belakangan fasilitas wisata ini mulai digandrungi. Kamping di alam dengan tenda, tetapi ada fasilitas bak hotel yang siapkan. Mulai dari kasur empuk, bantal, dan selimut untuk tidur. Ada juga kamar mandi atau toilet, kursi portable yang bisa dibuka tutup berbahan plastik, hingga peralatan masak seperti kompor gas postable, panci - panci kecil (nesting), dan pemanggang. Bahkan, ada listrik untuk mengisi daya baterai perangkat elektronik hingga lampu-lampu penerangan.

Wah, hutan tampak tak lagi seram. Meski begitu glamping tak menghilangkan esensi kenyamanan dan ketenangan yang alam tawarkan.
Seperti saat ini, kami duduk memandangi aliran air di riam yang dengan percaya dirinya menderu-deru merdu tepat di depan tenda kami. Ia seperti memanggil kami untuk segera berendam. Sejuk.
Ada dua belas tenda di MAC. Semuanya berjajar menghadap sungai. Tenda-tenda ini diletakan di atas panggung berukuran sekitar 4x2 meter yang terbuat dari kayu.
Bagaimana mungkin tidak betah disuguhi pemandangan dan suasana alam seperti ini? Meratus sungguh menarik. Hanya dari kampung Malaris saja kami sudah bisa membayangkan hamparan hijau alam lainnya yang ada di pegunungan ini.
"Jadi gimana rasanya di sini?" Rudi Redhani (58) berjalan santai menghampiri kami. Ia naik ke panggung, ikut duduk di teras tenda sambil sesekali menyeruput kopi yang ia bawa di gelas.
"Keren," kami langsung menjawab.
Ia tersenyum. Bapak dari tiga orang anak ini bisa dikatakan pelopor glamping di wilayah ini. Baginya, MAC adalah jawaban dari impian yang telah dibangunnya sejak dua dekade silam.
Ia bercerita sudah mulai mengenal masyarakat dan wilayah ini sejak aktif dalam kegiatan pendampingan masyarakat sejak tahun 2002. Namun, saat itu mimpi ini rasanya masih jauh.
"Kami sudah berkelana ke mana-mana untuk bekerja. Ke Kalimantan Tengah sampai ke berbagai lembaga tempat bekerja. Pada akhirnya, kami tetap kembali ke Kalimantan Selatan," katanya sambil terkekeh. Guratan pengalaman itu tak bisa lagi disembunyikan di wajahnya saat tertawa. Di tambah rambutnya yang memang sudah putih semua.
Rudi atau yang akrab disapa Udur, bercerita bahwa dulu ia memang aktif dalam kegiatan pemberdayaan dan pendampingan masyarakat melalui Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI).
"Dulu itu kami melakukan pemetaan wilayah adat, hingga menginisiasi program pemberdayaan di Malaris dan kampung-kampung sekitarnya," katanya.
Sekarang Udur tak lagi muda, tapi mimpinya tak turut menua. "Kita juga harus mempersiapkan masa tua," katanya. "Kami berpikir tentang mimpi ini, dimana kami bisa tetap bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi tetapi tetap menjaga alam dan terhubung dengan komunitas juga. Dan, Tuhan buka jalannya," lanjutnya lagi.
Ceritanya panjang. Lika-liku jalan yang ia lalui hingga akhirnya mendapat seorang teman yang mau mendukung ide wisata glamping ini. Jalan Udur juga dimudahkan karena kedekatannya dengan masyarakat setempat. Rasa saling percaya kemudian membangun mereka dalam kerja sama untuk mengembangkan bisnis ini di Malaris.
"Awalnya dulu cuma lima tenda, kemudian berkembang terus. Sekarang sudah sekitar tiga tahun, ada dua belas tenda yang kami kelola," ceritanya.
Ia juga bercerita pada tahun pertama, glampingnya mendapat banyak tamu. Hingga tahun kedua mereka memutuskan menambah lagi jumlah tenda karena banyaknya peminat. Namun, seiring dengan itu saingan bisnis mulai bermunculan.
"Kami juga sempat kaget. Dalam waktu dua tahun sudah ada saingan bisnis ternyata," katanya. "Ya, tapi gak masalah sih. Justru bagus artinya ekonomi berkembang di wilayah ini. Artinya juga usaha kami di MAC menginspirasi orang-orang lain."
Saat ini, setidaknya ada enam usaha serupa yang telah berdiri di kawasan Dayak Loksado dan desa Lok Lahung, desa utama Mantalis.
“Kalau ada yang meniru, kami senang. Artinya ini memberi inspirasi,” Udur sekali lagi mengatakannya.
Karena semangat pemberdayaan itu memang sudah melekat pada Udur, bersama dengannya ada empat pemuda adat setempat yang turut mengelola MAC. Salah satunya adalah Arianto (41), warga asli Kampung Malaris, RT 1 Desa Lok Lahung.
Kami bertemu dengan Ari saat berjalan-jalan di sekitar lokasi glamping. Ia sedang duduk di kantor MAC. Bangunan rumah kayu yang cukup luas, hingga bisa dijadikan tempat istirahat juga bagi Udur dan pengelola lainnya saat malam.
Namun, Ari tampak tak begitu gesit bergerak. Ia berjalan perlahan sambil berpegangan pada meja. Meski begitu ia tersenyum ramah menyambut kami.
“Mau minum kopi, Bang?” sapanya hangat.
Kami pun jadi ngopi bareng Ari dan beberapa rekannya di sana. Dari sini, ia mulai terbuka untuk bercerita. Ia bilang kondisi fisiknya tak lagi prima karena cedera akibat terjatuh memanjat pohon kelapa beberapa tahun silam. Namun, hal ini tak sampai menghilangkan semangatnya untuk tetap bekerja.
Ari juga bercerita pada tahun 2005 - 2007, ia sempat menempuh pendidikan di salah satu universitas di Palangka Raya. Setelah selesai, ia tetap memikirkan kampungnya dan akhirnya memutuskan untuk pulang membangun kampung. "Kami memilih pulang untuk membaktikan diri ke kampung," katanya.
Baginya, bertemu Udur adalah jawaban.
Sama seperti kehidupan masyarakat adat lainnya, Ari merasa sebagai masyarakat Dayak hidupnya tak bisa lepas dari alam. Ia mengenang dulu bahkan ketika tak di kampung ia selalu memilih pulang ketika libur.

"Kami terbiasa membantu orang tua di ladang sejak kecil, mulai dari membuka lahan, menanam, hingga panen. Jadi waktu kuliah dulu, waktu libur kami akan pulang kampung untuk ikut berladang. Karena padi itu untuk kebutuhan. Kadang padi hasil ladang kami itu bisa tahan sampai sepuluh tahun," ceritanya.
Sistem perladangan warisan dari leluhur ini masih terus dilakukan masyarakat di Malaris sampai hari ini. Begitu pun dengan berburu. Bahkan, saat ini mereka mulai mengembangkan komoditas bernilai ekonomis lain seperti kayu manis, kemiri, dan karet.

Kayu manis menjadi komoditas unggulan. Selain dijual dalam bentuk kering, masyarakat juga mengolahnya menjadi produk turunan seperti sirup.
Udur turut dalam mendampingi masyarakat terkait pengembangan komoditas ini. Ia yang memperkenalkan cara pengolahan kayu manis menjadi sirup. “Dulu kami sempat ke Jambi belajar cara mengolah sirup. Sekarang kami produksi sendiri. Satu botol, isinya satu liter," kata Udur.
Dari Udur, kami juga dapat pengetahuan baru. Ia bercerita bahwa pohon kayu manis itu baru bisa dipanen setelah delapan tahun. Setiap pohon menghasilkan sekitar 10–15 kilogram kulit kayu, dengan harga jual antara Rp50.000 hingga Rp60.000 per kilogram.
Tentu saja komoditas ini menjanjikan.
Keesokan harinya, Udur mengajak kami mengunjungi rumah Jasman. Ia bilang Jasman salah satu petani kayu manis.
Tampak jelas memang. Di teras rumahnya saja ada tumpukan kayu manis kering yang sudah terikat rotan. Siap dijual.
"Mau beli?" tanya Jasman pada kami.
"Boleh, tapi kami perlunya sedikit saja," jawab kami jujur.
Ia tersenyum. "Siapa tau mau borong," cadanya.
Jasman bilang kayu manis itu ia panen beberapa hari lalu. Masing-masing ikatan beratnya 5-6 kilogram. Harganya sekitar Rp50.000 per kilogram.
Ia memang sengaja meletakannya di teras karena akan segera diambil pengepul. "Supaya nanti langsung diangkut pengepul," katanya.
Sementara Jasman berbincang dengan Udur, kami mengamati sekitar kampung.
Ada yang menganyam, ada juga yang menjemur gabah. Ah, suasana ini tentu akan kami rindukan karena hari ini kami sudah harus pulang dari Malaris.
Belum banyak memang kisah yang kami kumpulkan, tetapi melihat keadaan alam dan kehidupan masyatakat ini membuat kami semakin yakin. Hutan Lebih Baik Dikelola Masyarakat Adat.
Meratus sampai hari ini masih tetap ada karena adanya harmonisasi antara alam dan manusia. Kami tak membayangkan bagaimana jadinya jika hubungan keduanya diputus. Tetapi, mungkin manusia yang akan jadi pihak paling rugi.
Semoga banyak orang dan pengusaha yang berpikiran sama seperti Udur. Tak hanya berpikir mengeksploitasi alam tetapi bagaimana keduanya bisa saling mendukung dan menguntungkan.
TIdak hanya memikirkan profit tetapi meninggalkan masyarakat adat di belakang pembangunan dan pengembangan. Semua seharusnya akan lebih baik jika bisa sejalan.
Semoga semua pihak menjaga Meratus, menjaga Malaris.

Lindungi hutan rimba Kalimantan dan perkuat masyarakat adat
Perlawanan menentang deforestasi membuat aktivis Save our Borneo (SOB) jadi pejuang sesungguhnya. Mereka melawan deforestasi dan memperjuangkan hak atas hutan.

Hentikan Food Estate di Lahan Gambut di Kalimantan Tengah
Cetak Sawah di lahan gambut yang akan berdampak buruk bagi kita semua di dunia. Masyarakat sivil di Indonesia menentang rencana itu. Tolong dukung tuntutan mereka.

Hak-hak Alam: Indonesia mengakui hak gugat
Di Indonesia, alam tidak punya hak-hak konstitutsonal. WALHI diberikan hak menggugat (legal standing). Wawancara dengan Dana Tarigan, direktur WALHI Sumut 2016-2020.