„Masyarakat adat Rawa Paya Nie adalah pelindung alam terbaik!“
Yusmadi Yusuf, direktur Aceh Wetland Forum di Aceh dan mitra Selamatkan Hutan Hujan, menulis tentang kehidupan masyarakat adat Paya Nie. Ia menuntut agar pengetahuan ekologis dan budaya masyarakat adat, hak atas hutan dan lahannya serta perlindungannya di tetapkan secara hukum.
Hanya setelah satu menit muncul kembali burung pecuk. Dia mencari mangsa di bawah air. Di depannya lagi, dekat jembatan kecil, burung kuntul bermain di air. Bebek mandarin menyembunyikan dirinya di alang-alang di pesisir pantai berawa.
Kami mengitari rawa Paya Nie yang sangat elok, sebuah wilayah basah seluas 300 hektar di pinggir ekosistem Leuser di sebelah utara pulau Sumatra. Said Fakhrurrazi hati-hati menyetir perahunya kala melewati hamparan tumbuhan teratai dan nelumbo. Meskipun pemandangannya indah namun ketua masyarakat adat Paya Nie ini nampak murung. Ia mengingat bagaimana wilayah basah itu dari hari ke hari semakin menyempit. Pihak luar merusak vegetasi di sana dan membuat perkebunan sawit. Pemburu liar mengurangi populasi burung. „Di enam tahun terakhir jumlah unggas air sangat turun drastis“, ujar Said.

Unsur yang sangat penting dalam hal perlindungan dan pemanfaatan alam adalah memperkuat masyarakat adat.
Yusmadi Yusuf
Di Oktober jika air sedang surut, ikan-ikan keluar dari persembunyiannya. Saat itulah nelayan panen: gurami, gabus, lele dan betok. Namun dunia air ini, dimana di dalamnya hidup banyak spesies endemis, menjadi miskin. Sebuah tragedi besar bagi penduduk di wilayah basah.
Berabad-abad lamanya mereka mencari makan dari tangkapan ikan. Mereka menangkap ikan hanya pada waktu dan tempat tertentu, demikian peraturan adat mereka. Cara menangkap ikan mereka dengan menggunakan perangkap ikan, pancing dan jala tidak merusak ekosistem. Namun sayang sejak beberapa tahun ini tersebar cara menangkap ikan dengan racun, listrik dan bom. Para pemburu liar datang dari luar daerah. Mereka tidak mengenal peraturan setempat. Beberapa penduduk desa mulai menangkap ikan dengan listrik. Peraturan masyarakat adat menjaga alam menjadi melemah.

Penduduk Paya Nie tidak berani mengintervensi perusakan meskipun kehidupan mereka tergantung pada „ekosistem rawa“. Pihak pemerintah tidak aktif akibat kurangnya dana dan keinginan politik. Bahkan pegawai pemerintah tersangkut paut pada pemburuan liar.
Di Paya Nie ada sembilan kelompok masyarakat adat. Hak tradisi mereka mencakup banyak aspek kehidupan, juga pola hidup dengan alam. Kesemuanya berdasarkan pengetahuan ekologis yang juga mencerminkan nilai-nilai sosial. Bahwa rawa tersebut hingga beberapa saat lalu menjadi sebuah ekologis yang sangat berharga dan memberi kebutuhan pakan penduduk, merupakan bukti bahwa masyarakat adat adalah penjaga alam terbaik dan dengan demikian mereka menjalankan perlindungan lingkungan hidup.
Masyarakat adat
Definisi „masyarakat adat“ tidak begitu jelas. Masyarakat adat mengidentifikasi diri sebagai keturunan dari penduduk yang sudah hidup di suatu wilayah tertentu sebelum masa penaklukan, penjajahan atau berdirinya negara.
Mereka berbeda dalam budaya dan bahasa dari penduduk mayoritas. PBB berpendapat bahwa mereka adalah „pelestari keanekaragaman hayati“.
Di seluruh dunia terdapat 370 juta anggota masyarakat adat atau sekitar empat persen dari penduduk dunia. Mereka mendiami sekitar seperempat dari luas daratan bumi.

Masalah: Negara mengklaim menguasai tanah. Masyarakat adat yang sejak berabad-abad menjaga kelestarian hutan hujan dan wilayah basah tidak mendapat perlindungan. Peraturan turun menurun mereka tidak mempunyai kekuatan hukum. Keputusan pengadilan adat mereka tidak mengikat di tingkat negara. Namun di tingkat lokal pengadilan adat berpengaruh sebab pelaku akan dihukum sesuai dengan peraturan adat.
Konsep perlindungan rawa berbasis hukum adat
Karena masalah-masalah ini, kami dari Aceh Wetland Forum bersama sembilan desa tersebut telah memulai mengembangkan konsep peraturan perlindungan rawa. Dan berhasil! „Kami masyarakat adat menetapkan peraturan ini sesuai dengan peraturan adat. Industri pertanian dan perkebunan dilarang“, sahut Said Fakhrurrazi. Perburuan liar, membunuh unggas air, menangkap ikan dengan listrik, mengeringkan rawa untuk perkebunan sawit juga dilarang dan ditindak tegas. Seluruh sembilan desa di rawa Paya Nie menyetujui konsep ini. Said Fakhrurrazi menjelaskan awalnya beberapa penduduk desa ragu. „Mereka ragu apa mereka masih boleh menangkap ikan. Baru setelah mereka mengerti bahwa peraturan tersebut justru berguna untuk melindungi sumber daya alam dan warisan nenek moyang kami, barulah mereka bersepakat dengan kami“, ujarnya.

Untuk menjalankan konsep itu kami telah melibatkan para ilmuwan perguruan tinggi dan aparat keamanan pemerintah. Karena itu usaha melindungi Paya Nie nyata berhasil.
Paya Nie kini dilindungi oleh masyarakat adat - dan burung-burung kembali
Kami selalu bertanya pada diri kami, apakah dan bagaimana pengetahuan ekologis dan hak masyarakat adat bisa diintegrasi ke tingkat peraturan negara. Hingga kini keinginan kami selalu diabaikan. Pertumbuhan ekonomi dan autoritas negara atas lahan menjadi prioritas.
Kami tidak bisa menunggu hingga hukum negara bagi perlindungan masyarakat adat dan tanah leluhurnya ditetapkan, hukum yang menghormati mereka sebagai penjaga alam terbaik. Kami juga tidak bisa menunggu hingga mereka mendapatkan hak atas hutan adat resmi. Sebab tidak lama lagi ekologi Paya Nie akan hancur. Kini kami bongkar perkebunan sawit dan mereforestasi. Yang paling penting: Paya Nie kini efektif terlindungi berkat masyarakat adat, hak mereka diperkuat, ekosistem menjadi pulih dan burung-burung datang kembali!
Hukum dan perlindungan internasional
Masyarakat adat mendapat perlindungan internasional yang tidak cukup.
Deklarasi tentang hak-hak masyarakat adat PBB (Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, UNDRIP, 2007) mendefinisikan hak-hak mereka atas budaya, tradisi, pembangunan yang ditentukan sendiri dll. Meskipun UNDRIP bukanlah instrumen yang mengikat secara hukum, UNDRIP berisi standar-standar minimum untuk pemenuhan, perlindungan dan pemajuan hak-hak Masyarakat Adat.
Indonesia yang sejak awal mendukung dan ikut menandatangani UNDRIP, namun belum menghadirkan instrumen yang tertuang dalam deklarasi ini.
Konvensi Organisasi Buruh Internasional bagi perlindungan masyarakat adat (International Labour Organsation, ILO 169, dari 1989) adalah satu-satunya norma yang mengikat secara hukum.
Konvensi ini menegaskan pengakuan kepemilikan lahan komunal dan persetujuan berdasarkan informasi di awal tanpa paksaan (Free, Prior and Informed Consent, FPIC) pada proyek-proyek di wilayah mereka. Indonesia anggota ILO resmi pada tahun 1950.


Selamatkan Rawa Tripa, Habitat Terakhir Orangutan!
Lahan di kawasan lindung gambut Tripa di Nagan Raya dibuka lagi - ini hasil investigasi Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan. Kehilangan tutupan hutan mencapai ratusan hektar.

Hutan bakau. Rawa gambut. Perlindungan lahan basah di Aceh
Aceh Wetland Forum melindungi hutan bakau di pesisir timur Aceh, rawa gambut Tripa-Babahrot, dan ekosistem rawa Paya Nie

Hutan gambut - dimana air memeluk bumi
Melestarikan hutan rawa gambut adalah langkah penting untuk mengurangi emisi karbondioksida. Namun kawasan ex hutan gambut di Kalimantan dan di Sumatera sering terbakar.