Kebijakan Penanganan Karhutla dan Dilema Masyarakat Adat
Dalam strategi nasional dalam menanggulangi karhutla masyarakat adat sering terabaikan. M. Habibi, direktur Save our Borneo, menuntut pemerintah pendekatan sosial dan budaya.
Kebijakan Penanganan Karhutla dan Dilema Masyarakat Adat
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali menjadi ancaman serius di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di Pulau Kalimantan. Pemerintah pusat melalui Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanganan Karhutla yang digelar pada 28 Juli 2025, meminta provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Selatan (Kalsel), untuk segera menetapkan status darurat karhutla.
Permintaan tersebut bertujuan agar pemerintah pusat dapat mengerahkan bantuan teknis berupa Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) serta helikopter pemadam (water bombing). Selain itu, Menteri Kehutanan menegaskan bahwa upaya penanggulangan karhutla harus disertai penegakan hukum yang tegas, guna memberikan efek jera terhadap pelaku pembakaran, baik yang dilakukan oleh perorangan, cukong, maupun korporasi besar.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyampaikan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia diperkirakan akan memasuki puncak musim kemarau pada Agustus 2025. Daerah-daerah seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan dikategorikan sebagai wilayah dengan potensi kebakaran lahan tertinggi. Meskipun BMKG memperkirakan akan terjadi kemarau basah hingga Oktober, kondisi ini tidak sepenuhnya meniadakan risiko kebakaran, terlebih pada lahan-lahan gambut yang mudah terbakar.
Namun, di tengah berbagai kebijakan dan strategi nasional dalam menanggulangi karhutla, terdapat satu kelompok yang sering kali terabaikan dalam perbincangan publik, yaitu masyarakat adat.
Masyarakat adat selama ini kerap mendapat stigma sebagai pihak yang turut menyebabkan kebakaran hutan. Tradisi berladang dengan metode tebas-bakar yang telah diwariskan secara turun-temurun sering kali dikaitkan sebagai praktik yang membahayakan lingkungan. Akibatnya, tidak sedikit anggota masyarakat adat yang mengalami kriminalisasi, bahkan menghadapi ancaman pidana berat dan denda bernilai miliaran rupiah.
Padahal, praktik berladang secara tradisional yang dilakukan masyarakat adat memiliki tata cara dan siklus tersendiri. Umumnya, proses pembukaan lahan dilakukan dengan menebas dan menebang vegetasi atau tetumbuhan dilahan mereka sekitar bulan Juni, lalu pembakaran dilakukan dua bulan kemudian, yakni sekitar Agustus atau September, dengan pengawasan ketat agar api tidak merambat ke wilayah lain.
Sayangnya, berbagai ketentuan hukum seperti Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Pasal 108 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, telah menjadi dasar untuk menjerat siapa pun yang melakukan pembakaran, tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan budaya masyarakat adat.
Ruang yang Dibuka, Tapi Tertutup Kembali
Di Kalteng, upaya untuk mengakomodasi praktik masyarakat adat sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pengendalian Kebakaran Lahan. Dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3), disebutkan bahwa pembakaran lahan dapat dilakukan secara terbatas dan hanya oleh masyarakat hukum adat, serta tidak pada lahan gambut.
Namun, ruang yang diberikan ini bersifat kondisional. Ayat (5) dalam pasal yang sama menyatakan bahwa pengecualian tersebut tidak berlaku apabila Gubernur telah menetapkan status siaga darurat bencana. Artinya, begitu status darurat ditetapkan, seperti yang diminta oleh pemerintah pusat saat ini - semua bentuk pembakaran, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat adat untuk berladang, kembali dianggap sebagai tindakan ilegal.
Situasi ini menimbulkan dilema yang tidak sederhana. Di satu sisi, negara berkewajiban melindungi lingkungan dari kerusakan yang lebih luas. Di sisi lain, masyarakat adat memiliki hak atas tanah ulayat dan atas keberlangsungan tradisi mereka dalam mengelola alam.
Perlu dicatat bahwa masyarakat adat bukanlah perusak lingkungan. Justru mereka sering menjadi pelindung hutan melalui praktik-praktik kearifan lokal yang lestari. Pemberlakuan hukum secara menyeluruh tanpa pengecualian yang kontekstual justru berpotensi menghilangkan warisan budaya dan menciptakan ketidakadilan ekologis.
Dalam menyusun kebijakan penanganan karhutla, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan aspek teknis dan legal, tetapi juga pendekatan sosial dan budaya. Sudah saatnya negara hadir tidak hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pelindung keragaman cara hidup masyarakatnya, termasuk cara hidup masyarakat adat yang menyatu dengan alam.
Muhamad Habibi, Save our Borneo

Lindungi hutan rimba Kalimantan dan perkuat masyarakat adat
Perlawanan menentang deforestasi membuat aktivis Save our Borneo (SOB) jadi pejuang sesungguhnya. Mereka melawan deforestasi dan memperjuangkan hak atas hutan.

Lindungi biodiversitas – dengan serius! PBB harus memperkuat hak-hak masyarakat adat
Konferensi PBB tentang biodiversitas akan memutuskan bahwa hingga tahun 2030, 30 persen dari seluruh permukaan bumi harus dilindungi. Namun rencana tersebut bermasalah.